16 Januari 2009

Pengembara

Sajak AA Manggeng

Tuhan,

bawalah jiwaku dalam sungaiMu
hanyut dalam arus tenang dan bergelombang
singgahkan aku pada tebing-tebing rerumputan
agar aku bisa rebahkan letihku dalam embun maafMu

mata air yang berdarah
beningkan dalam cawan kemuliaan
aku ingin reguk kenikmatan dari cawan yang memabukkan
bertemu makna kesucian

Tuhan,
bawalah aku dalam kendaraanMu
melintasi lintasan persimpangan dan
singgah di rumah-rumah keteduhan
agar aku lebih lama bersimpuh dan istirah
di alam ketenangan.

Tuhan,
aku teruskan pengembaraan
ke tengah-tengah rimbun Ridha-MU.

(ACEH’ 1994) 

YANG HILANG DI MUSIM BADAI

Sajak AA Manggeng

Aku cari engkau saudaraku
yang sudah lama tidak kembali
Apakah musim badai tanah rencong ini
telah mendekapmu di penjara-penjara rahasia?

Suara tidak selalu menjadi kata, saudaraku
untuk itu ingin aku pastikan nurani
atas kehilanganmu
Apakah engkau mendengarnya
dari sukma bumi
yang bernafaskan air mata

Saudaraku,
cahaya kunang-kunang
memberi isyarat duka cita
atas kepergianmu
Jangan kuburkan kebenaran, saudaraku
hanya karena paksaaan
bersuaralah meskipun tak jadi kata
kami mendengarnya di musim gugur daun-daun muda
berumahkan pepohonan tumbang
yang tercerabut akarnya

Pastikanlah saudaraku
jika engkau bersama Tuhan
menunggu pengadilan akhir riwayat
tinggal risau kami di jalan-jalan penuh gelagat
saat manusia memutuskan keadilan dimeja hijau
adakah suaramu bergema dari kubur rahasia?
sebab ada pertanyaan yang belum terjawab:
“berapa harga kemerdekaan dibanding nyawa?”
ACEH, 1999